el Bashiroh
Mencerahkan Rohani Bangsa


Al Bashiroh

[ Edit ]

UU Intelejen: Solusi tindak hukum Aparat?

Kerusuhan Poso untuk kesekian-kali telah berubah dari pertikaian yang awalnya bertendensi agama (horizontal) sekarang bergeser menjadi pertikaian vertikal (aparat dengan kelompok sipil bersenjata. Semakin keruh dan tak terlihat dasar permasalahannya, seolah-olah tidak ada habisnya. Pengiriman pasukan Antiteror Datasemen Khusus 88 menjadi jalan terakhir pemerintah untuk menghentikan pasukan bersenjata yang melakukan teror di Poso, namun kenapa 16 warga sipil harus dikorbankan, wajarkah?

Pada 22 September 2006 lalu, Terpidana mati Fabianus Tibo, Domingus Da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi dengan tembak mati, karena diputuskan sebagai pelaku pembantaian warga muslim di sekitar Pesantren Wali Songo. Sehari setelah eksekusi itu dua warga muslim meninggal karena dibunuh. Sebagian umat Kristiani tidak setuju dengan eksekusi mati itu. Beberapa polisi di hari berikutnya datang dan mengklarifikasi kejadian yang terjadi dua hari sebelumnya, akan tetapi terjadi percekcokan antara warga muslim dengan aparat sehingga mengakibatkan 17 warga ditangkap. Ini yang membuat kerenggangan antara warga dengan aparat semakin jauh.

Sehari berikutnya bom meledak di depan Gereja Kawua, Poso. Lima bom lainnya menyusul dalam beberapa pekan, namun tidak sampai memakan korban. Hingga akhirnya, pada 16 Oktober tahun lalu, seseorang menembak Pendeta Irianto Kongkoli di Palu.

Polisi menuding pelakunya berasal dari kelompok Tanah Runtuh. Upaya negosiasi agar ulama Tanah Runtuh menyerahkan para tersangka tak juga berhasil. Keluarga buron itu mengaku bersedia menyerahkan kerabatnya asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut Tibo ikut terlibat penyerangan Pesantren Wali Songo, pada Mei 2000 silam.

Malam hari raya Idul Fitri atau sepekan setelah penembakan Pendeta Kongkoli, polisi melakukan razia di jalan-jalan sekitar Tanah Runtuh. Kedatangan polisi ini menimbulkan kecurigaan masyarakat hingga terjadi bentrokan. Dalam bentrokan itu, Saifudin, siswa Pesantren Al-Amanah, mati tertembak polisi. Kematian Saifudin memicu amarah penduduk Tanah Runtuh. Kapolres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriadi, memerintahkan anak buahnya memblokade kawasan Tanah Runtuh agar kerusuhan tak menyebar. Masyarakat Tanah Runtuh kemudian menjadikan pos polisi di sana sebagai sasaran amuk. Sebanyak 16 polisi yang bertugas di sana terjebak dalam berondongan peluru dan batu.

Menurut laporan resmi polisi, dalam upaya evakuasi mereka mendapat perlawanan, tembakan, dan bom molotov. Mereka terpaksa membalas. Tembakan itu menewaskan Mislan Aminuddin dan anaknya yang berusia empat tahun. Esok harinya saat pemakaman, rombongan pengantar jenazah yang melewati kantor polisi selalu memberikan perlawanan dengan melempar batu ke arah polisi.

Suasana kembali memanas, Kamis dua pekan lalu. Detasemen Khusus Antiteror menyergap dua rumah di Gebang Rejo yang diduga ditempati Basri dan Dedi Parsan, dua di antara 26 buron. Penyergapan di rumah Basri tak memberikan hasil. Namun, di rumah Dedi Parsan, mereka menangkap Anang Mayetadu dan Paiman. Dedi Parsan tewas dalam penyergapan itu. Selain itu, Ustad Rian, pengajar di Pesantren Al-Amanah, juga menjadi korban.

Menurut Jamil, pemuda setempat, saat itu Rian berniat mencari tahu asal suara ribut-ribut di rumah Basri. Ternyata dia malah menjadi sasaran tembak. Sedangkan menurut versi polisi, Rian saat itu tampak melemparkan bom ke arah polisi yang sedang melakukan operasi. Siang hari, rombongan pengantar jenazah Ustad Rian berpapasan dengan anggota polisi Bripda Dedi Hendra. Melihat polisi, rombongan itu mengeroyok dan menembak Dedi hingga tewas. Ketegangan memuncak. Penduduk Tanah Runtuh kemudian memblokir semua akses masuk ke wilayah mereka. Selama sebelas hari polisi dan penduduk Tanah Runtuh saling berhadapan. Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti, kembali mengupayakan negosiasi. Tuntutan penduduk Tanah Runtuh tak berubah. Mereka bersedia menyerahkan para buron asalkan polisi memproses 16 nama yang disebut-sebut Tibo.

Gagal negosiasi, akhirnya polisi melakukan penggerebekan besar-besaran, Senin 22 Januari lalu. "Terpaksa kami sapu, kami bersihkan," kata seorang polisi. Saat itu sekitar 3.000 aparat kepolisian dibantu lebih dari 1.300 anggota TNI berada di Poso. "Semua kita siapkan, tapi tidak perlu semuanya turun," kata juru bicara polisi setempat, Muhamad Kilat. Sumber Tempo menyebut yang terlibat langsung sekitar 700 personel. Mereka terbagi dalam tiga lapis, termasuk tiga regu (36 orang) dari Detasemen Khusus Antiteror 88 yang melasak di ring pertama.

Hingga pekan lalu, dari 26 buron, masih ada 16 orang yang belum tertangkap. Ketika baku tembak pekan lalu, saat polisi mulai menguasai situasi, mereka lari ke arah perbukitan. Seorang ulama di Poso menyebut jumlah aparat keamanan terlalu berlebihan. "Mereka (kelompok bersenjata) yang ikut melawan jumlahnya hanya sekitar 50 orang," katanya.

Memang jumlah keseluruhan "mujahidin" mantan pasukan perang muslim di Poso cukup besar. Namun mereka kini sudah menarik diri dari terlibat bentrokan karena saat ini bukan lagi situasi perang. "Kalau kami turun semuanya, perang baru selesai paling tidak seminggu," kata sumber ini. Ulama ini yakin bahwa jumlah senjata yang dirampas tak seberapa. Mereka sengaja menyimpan senjata untuk berjaga-jaga. "Kami hanya pakai untuk membela diri," katanya. Bupati Poso, Piet Inkiriwang, menyebut tak ada lagi konflik antaragama. Peristiwa pekan lalu itu hanya melibatkan sekelompok kecil orang yang di antaranya menjadi buron polisi. "Itu pertikaian antara sekelompok kecil orang dan polisi," katanya enteng. Sebagai kepala daerah, dia mengaku akan melakukan konsolidasi dengan mendorong terbentuknya forum-forum warga untuk membuka dialog. Pemimpin Pesantren Al-Amanah, Haji Adnan Arsal, meminta polisi bertindak adil dalam menyelesaikan masalah. Di Tanah Runtuh mereka hanya berniat mengembangkan pendidikan dan mengasuh yatim piatu. Peristiwa adu tembak kemarin itu merupakan upaya masyarakat setempat dalam membela diri. "Siapa yang bisa lemah lembut kalau kami diserang terus?" katanya. Kalau ingin aman, pemerintah harus menarik pasukan Detasemen Khusus Antiteror. "Mereka ini yang membuat suasana menjadi keruh." Tempointeraktif.com (1-02-2007) Dugaan Pelanggaran HAM

Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan senjata atau kekerasan, itu yang terjadi di Poso, Yang terjadi malahan sebagian rakyat bisa angkat senjata untuk sebuah perjuangan mempertahankan hak-hak sipil yang hilang oleh tindakan aparat.

Bagaimana jika hal ini berlanjut, akan ada berapa insiden berdarah lagi, ketika aparat tidak jeli melihat permasalahan yang berkembang di daerah konflik. Karena insiden berdarah ini bukanlah sebuah peristiwa yang bisa di nilai pada satu sisi saja (melainkan sebuah kejadian yang multidimensi). Seharusnya aparat tidak membalas sebuah kericuhan dengan Operasi Senin, dengan penyebaran 29 DPO yang konon berhasil ditangkap semua. Ada langkah yang lebih arif yang bisa menjaga keamanan dan kestabilan warga setempat.

Namun bila yang terjadi Operasi Senin itu, menjadi prioritas Aparat dalam penegakan hukum, berapa banyak warga sipil harus menanggung trauma seperti itu? Malahan indikasi seperti ini telah melanggar HAM warga sekitar. Terlebih meninggalnya warga sipil di luar target DPO, adalah sebuah pelanggaran hukum yang tidak pernah tersentuh publik. Atas dasar perampasan Hak Hidup dan Rasa aman atas Warga itu, sebuah point yang akan di bahas oleh tim temuan Komnas HAM, yang saat itu diwakili oleh Zumrotin K. Susilo.

Mencari Akar, Mencari Aktor, Mencari Titik Terang

Beberapa pengamat sangat kebablasan dalam menguraikan situasi terakhir di Poso, karena pandangan yang diutarakan bersifat parsial dan tidak komprehensif. Pemerintah tidak punya nyali untuk menyelesaikan konflik Poso, dengan pengiriman Densus 88 itu sudah menunjukan tidak ada upaya serius untuk menutup lubang konflik di Poso.

Muhammad Nasihan (Praktisi Hukum) mengutarakan statemen :" Jangan membuat paradigma yang mengakibatkan masyarakat itu menagih akan tokoh-tokoh dibalik Poso, kenapa harus memberi stigma seperti itu. DPO harus dicari seprofesional mungkin, menggungkap orang-orang seperti itu, bukan hanya seputar tokoh bayangan., yang bisa dicomot sana-sini"

Sedangkan Arianto Sangaji (Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu) memberikan tiga langkah alternatif untuk meredam gejolak di Poso, dengan cara:

  1. Menarik mundur semua anggota Datasemen Khusus 88 beserta aparat untuk sekedar menahan diri. Karena kekerasan tidak bisa di selesaikan dengan hal yang serupa.
  2. Warga beserta tokoh Masyarakat (ulama) memberi dorongan untuk saling menjaga diri dari provokasi pihak-pihak diluar daerah konflik. Karena jika konflik berlanjut akan meluas menjadi darurat militer, yang lebih mencekam.
  3. Pemerintah segera mencari akar-akar permasalahan yang asli, artinya analisa ini valid untuk dikembangkan menjadi wacana perdamaian. Analisa itu meliputi Tokoh-tokoh sentral yang bukan bayangan semata, indikasi ketimpangan sosial, hal-hak yang selama ini belum dipenuhi oleh pemerintah terhadap masyarakat yang konflik, dan mencari mata rantai adanya dukungan logistik pihak yang bertikai (golongan bersenjata) dengan pihak diluar daerah konflik. Tidak dengan menghabisi orang yang kebetulan berada di daerah konflik tersebut.

Maka lebih yang paling perlu ditegaskan adalah bagaimana memberikan informasi yang pure (asli) terhadap masyarakat. Ketika konflik aparat dengan warga muslim itu terjadi, harusnya sudah ditangani. Tidak menunggu beberapa waktu, sehingga warga telah terbakar amarahnya untuk melakukan pembelaan diri. Ketika DPO disebar, maka ada banyak komunitas yang merasa senasib dengan nama-nama yang ada pada DPO. Klimaksnya akan meletus beberapa Chaos(kerusuhan) yang lebih besar lagi. Lebih lanjut mereka (aparat ) harusnya melakukan transparansi kinerja yang selama ini ditempuh. Tindak sporadis ketika datasemen 88 yang dalam melakukan operasi militer itu telah menimbulkan korban sipil sebanyak 16 warga. Diduga mereka juga orang sipil yang bersenjata, atau kelengahan aparat dalam melakukan operasi. Untuk kasus yang sekompleks ini, belum ada titik transparansi dalam pengusutan, dan parahnya tidak ada undang-undang intelegen yang mengatur mekanisme (tata cara) melakukan operasi militer seperti itu. Ketika tindakan aparat menimbulkan korban sipil, tidak ada ukuran yang jelas apakah tindakan itu prosedural secara hukum atau tidak?

Sehingga yang terjadi dari beberapa orang yang dianggap DPO, hanya beberapa orang saja yang tertangkap, kemana yang lain, dan siapa yang salah tangkap? Tidak ada criteria yang jelas dan informasi yang jelas pada masyarakat.

Karena UU tentang KMI (Kejelasan Memperoleh Informasi) yang termasuk didalamnya UU intelejen, masih dalam penggodokan oleh dewan. Dan parahnya UU KMI masih diurutan kedelapan per Maret 2006 dan UU intelejen masih ngantri di urutan 268 di Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Ide ini muncul sejak Desember 1998, dengan hadirnya sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemudian membentuk koalisi. Dengan adanya koalisi ini tugasnya adalah memperoleh data secara resmi dari pemerintah jika dikemudian hari ada kebocoran dana pemerintah lewat seorang koruptor. Sedangkan UU Intelejen sendiri kegunaannya adalah upaya legitimasi terhadap keputusan aparat untuk menyelesaikan suatu kasus, agar tidak berbenturan dengan HAM dan akses publik.

Muhammad Nasihan mengutip sebuah pesan dari ketua BIN (Badan Intelejen Negara), Hendro Priyono: "harusnya sudah dibuat UU intelegensi yang melihat kinerja hukum aparat". Ketika zaman LB. Moerdani, intelejen mampu meredam kejadian-kejadian konflik seperti Kasus selevel Poso, walaupun kinerjanya tercoreng dengan kasus Tanjung Priok. Sampai kapan Aparat selalu menang dalam tindakannya, walaupun rakyat selalu terhapus dalam catatan sejarah sebagai bagian prosesi berjalannya sebuah Rezim. Kasus Poso akan hilang ditelan sejarah, sebagaimana kasus Tanjung Priok, Kematian ketua Kontras Munir, SH, Kejadian Trisakti dan Semanggi dan banyak lagi kasus yang ditutup demi keselamatan rezim, bukan atas Nama Kebenaran. Jangan puas dengan apa yang terjadi pada republik Topeng ini! Selamat Berfikir, Berjuang untuk Agama dan Bangsamu. Sirojuddin dari berbagai sumber.


Alamat Redaksi: Jl. Raya Raci No. 51 Bangil Pasuruan P.O. Box 08 Bangil Pasuruan Jatim Indonesia. Telp. 0343-745317/746532 Fax. 0343-741-200
e-mail redaksi_albashiroh@yahoo.co.id.