Merenungi Hikmah di Balik Bangunan dan Ketaatan
Tafsir Surah At-Taubah: Kajian Shafwat Tafasir Bersama Habib Husein bin Alwy bin Agil 9 Februari 2025
Menyelami samudra makna Surah At-Taubah, khususnya ayat 109 hingga 111, dengan sentuhan pemahaman yang membuka cakrawala pemikiran kita, menyingkap lapisan-lapisan hikmah yang tersembunyi di balik untaian firman Allah SWT.
Ayat 109
Maka, apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan rida(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di sisi tepian jurang yang nyaris runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim,”
Allah SWT memberikan perumpamaan yang sangat kuat antara bangunan yang didirikan atas fondasi ketakwaan dan keridaan Allah dibandingkan dengan bangunan rapuh yang berdiri di tepi jurang kehancuran, yang pada akhirnya akan menyeret penghuninya ke dalam kobaran neraka Jahannam.
Penutup ayat dengan kalimat “Wallahu la yahdil qaumaz-zalimin” (Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim), menurut beliau, adalah penegasan ilahi bahwa pertolongan dan hidayah Allah akan menjauhi mereka yang berlumur kezhaliman. Mereka yang berharap pertolongan Allah harus melepas pakaian kedzalimannya.
Ayat 110,
“Bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi penyebab keraguan (kemunafikan) dalam hati mereka sampai hati mereka terpotong-potong. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana,”
Habib Husein menjelaskan bagaimana hati para pembangun masjid dhirar, (masjid yang dibangun untuk menyaingi masjid Quba’) yang dipenuhi dengan kemunafikan, keraguan, dan kedengkian, akan terus diliputi kegelisahan hingga kematian menjemput. Beliau menekankan bahwa kebencian akan mengeraskan hati dan menjauhkannya dari kebenaran.
Kisah penghancuran masjid dhirar atas perintah Rasulullah SAW dan pemanfaatannya sebagai tempat sampah, sebagaimana dituturkan Habib Husein, menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana Islam menolak segala bentuk upaya memecah belah umat. Penegasan Allah melalui firman-Nya,
(Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana), semakin mengukuhkan kebenaran tindakan Rasulullah SAW dalam menghadapi kaum munafik.
Lebih jauh, Habib Husein mengupas makna kata ‘asa’ dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah At-Taubah ayat 102. Beliau menjelaskan bahwa ketika kata ‘asa’ (semoga) datang dari Allah SWT, ia mengandung makna kewajiban. Meskipun secara bahasa berarti harapan, konteksnya menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat memaksa Allah, namun manusia senantiasa dapat berharap akan pertolongan dan bantuan-Nya, menyadari sepenuhnya bahwa tanpa inayah ilahi, tidak ada daya dan upaya yang dapat terwujud.
Sebuah kisah menarik tentang seorang Arab Badui dan Zaid ibn Shouhan turut mewarnai kajian Habib Husein. Zaid ibn Shouhan adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal memiliki kedudukan yang mulia dan termasuk dalam barisan pembela Islam di masa-masa awal. Salah satu ciri fisiknya yang menonjol adalah tangannya yang buntung. Riwayat menyebutkan bahwa tangan beliau terputus dalam sebuah peperangan membela agama Allah. Beliau dikenal sebagai seorang yang fasih berbicara dan memiliki ilmu yang luas, sehingga seringkali memberikan nasihat dan ceramah kepada masyarakat.
Dalam konteks kisah yang disampaikan Habib Husein, Zaid ibn Shouhan sedang memberikan ceramah atau majelis ilmu kepada khalayak. Di antara pendengar yang hadir, terdapat seorang Arab Badui (a'robi), yaitu seorang yang berasal dari pedalaman dan umumnya memiliki keterbatasan dalam pendidikan dan pemahaman tentang tata cara kehidupan di perkotaan atau ajaran agama yang lebih mendalam.
Ketika orang Badui ini mendengarkan penjelasan Zaid ibn Shouhan, ia merasa takjub dengan ilmu dan kefasihan bicaranya. Namun, ketakjubannya itu tiba-tiba berubah menjadi keraguan ketika ia melihat tangan kiri Zaid yang buntung. Dalam benak orang Badui yang sederhana ini, muncul prasangka buruk. Ia tidak mengetahui bahwa tangan Zaid hilang karena berjihad di jalan Allah. Yang terlintas di pikirannya adalah kemungkinan bahwa tangan Zaid dipotong sebagai hukuman atas suatu kejahatan, seperti mencuri.
Keraguan ini kemudian ia lontarkan kepada Zaid, mengungkapkan ketidakpercayaannya atau kebimbangannya terhadap kebenaran ilmu yang disampaikan oleh seseorang yang cacat fisiknya, yang dalam pandangan awamnya mungkin disebabkan oleh perbuatan dosa. Orang Badui ini, dengan polos namun penuh prasangka, mempertanyakan integritas Zaid hanya berdasarkan kondisi fisiknya tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya.
Zaid ibn Shouhan, yang tentu saja mengetahui penyebab kehilangan tangannya, berusaha menjelaskan kepada orang Badui tersebut bahwa tangannya buntung karena peperangan membela Islam, sebuah pengorbanan mulia di jalan Allah. Namun, keterbatasan pemahaman dan kerasnya prasangka dalam diri orang Badui itu membuatnya sulit menerima penjelasan Zaid. Ia tetap berpegang pada asumsi awalnya tanpa mau membuka diri pada kebenaran yang disampaikan.
Melihat betapa sulitnya orang Badui itu menerima penjelasan dan betapa kuatnya prasangka buruk yang mengakar dalam dirinya, Zaid ibn Shouhan kemudian mengutip Surah At-Taubah ayat 97:
Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih pantas mereka tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Pengutipan ayat ini oleh Zaid bukanlah untuk menghina atau merendahkan seluruh kaum Arab Badui, tetapi lebih kepada menggambarkan kondisi mental dan spiritual orang Badui yang dihadapinya saat itu. Ayat ini menjelaskan bahwa sebagian orang Arab Badui karena jauh dari pusat ilmu dan peradaban Islam di Madinah, cenderung lebih keras dalam kekafiran dan kemunafikan serta kurang memahami ajaran agama. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang Badui memiliki sifat demikian.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran penting:
- Bahaya Prasangka Buruk: Prasangka buruk dapat membutakan hati dan pikiran seseorang dari kebenaran. Orang Badui tersebut lebih memilih untuk berpegang pada asumsi negatifnya daripada menerima penjelasan yang benar dari Zaid ibn Shouhan.
- Keterbatasan Ilmu dan Pemahaman: Keterbatasan pendidikan dan jauhnya dari sumber ilmu agama dapat menyebabkan seseorang memiliki pemahaman yang dangkal dan mudah terjerumus dalam kesimpulan yang salah.
- Kekuatan Al-Qur'an dalam Memberikan Perspektif: Ayat Al-Qur'an yang dikutip Zaid memberikan gambaran yang tepat mengenai kondisi orang yang keras hati dan menolak kebenaran, meskipun telah dijelaskan dengan baik.
- Kesabaran dalam Menyampaikan Dakwah: Meskipun menghadapi orang yang keras kepala dan penuh prasangka, Zaid ibn Shouhan tetap berusaha menjelaskan dengan baik sebelum akhirnya menggunakan ayat Al-Qur'an untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam.
Kisah ini, sebagaimana disampaikan Habib Husein Binagil, menjadi cermin bagi kita untuk senantiasa berhati-hati dalam berprasangka, berusaha mencari ilmu dan pemahaman yang benar, serta menyadari bahwa Al-Qur'an mengandung hikmah yang relevan dalam berbagai situasi kehidupan. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat tercela yang menghalangi kita dari menerima kebenaran.
Menginjak kelompok ayat 111-129, Habib Husein mengaitkannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Setelah Allah SWT menjelaskan karakteristik orang mukmin dan munafik, serta tiga golongan yang enggan mengikuti Perang Tabuk, rangkaian ayat ini ditutup dengan penegasan nikmat Allah yang agung, yaitu diutusnya Rasulullah SAW dari bangsa Arab sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dari segi bahasa, Habib Husein menguraikan makna beberapa kata kunci dalam ayat-ayat tersebut, seperti halim (penyabar, tidak mudah marah, pemaaf), al-‘usrah (kesulitan yang sangat, merujuk pada beratnya Perang Tabuk), yaziigh (condong hatinya pada keimanan dan petunjuk), zhama’ (haus yang amat sangat), nashab (kepenatan dan kelelahan yang sangat), makhmashah (rasa lapar yang sangat hingga kurus), ‘aziiz (kesulitan yang sangat berat), dan ‘antum (rasa berat yang sangat).
Menyentuh sabab nuzul (sebab turunnya ayat), Habib Husein menukil dua riwayat penting berkaitan dengan ayat ini:
Pertama, baiat Aqabah yang dilakukan oleh 70 orang Anshar, termasuk Abdullah ibn Rawahah, yang menegaskan kesetiaan mereka kepada Allah dan Rasulullah SAW dengan imbalan surga.
Ayat
(Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan balasan surga bagi mereka) [At-Taubah: 111]>
menjadi saksi atas transaksi agung ini.
Kedua, kisah wafatnya Abu Thalib yang didampingi Rasulullah SAW dan Abu Jahal. Meskipun Rasulullah SAW menuntunnya untuk mengucapkan kalimat thayyibah, Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya, Abdul Muthalib. Habib Husein menjelaskan bahwa Abdul Muthalib adalah seorang ibrahimy hanifi, bukan seorang kafir atau musyrik, sebagaimana diisyaratkan dalam ucapan Rasulullah SAW saat Perang Hunain,
Aku adalah Nabi, tidak berdusta, aku adalah putra Abdul Muthalib.
Setelah peristiwa ini, turunlah ayat
Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik) dan
Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai).
Habib Husein Ibn Alwy Binagil tidak hanya menguraikan makna literal ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan implikasi spiritual dan sosialnya dalam kehidupan kita. Beliau membimbing kita untuk membangun fondasi hidup di atas ketakwaan dan keridaan Allah SWT, menjauhi segala bentuk kemunafikan dan kezhaliman, serta senantiasa berharap akan pertolongan dan hidayah-Nya. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan keberkahan kepada beliau atas ilmu yang telah dibagikannya.
Penulis:
Achmad Shampton Masduqi